‘Zona Nyaman’

Kini, ‘zona aman’ atau ‘zona nyaman’ telah menjadi pilihan banyak orang dalam mengarungi kehidupan. Keyakinan (agama) tak lagi jadi pedoman. Idealisme tak lagi jadi tumpuan. Ideologi tak lagi jadi sandaran. Singkatnya, kini banyak orang makin pragmatis dalam pikiran maupun tindakan; yang penting aman dan nyaman. Saat demikian, tantangan penuh risiko tentu sejauh mungkin dihindarkan.

Di tingkat elit politik, zona aman dan nyaman telah lama jadi patokan. Saat menyokong pihak asing dianggap menguntungkan, kebijakan apapun akan dikeluarkan; tak peduli jika itu menjadikan rakyat sebagai korban, asal mereka tak melakukan pemberontakan. Sebaliknya, saat berpihak kepada rakyat dipandang bermanfaat untuk pencitraan, berpura-pura menolak kebijakan penguasa yang menyengsarakan rakyat segera ditonjolkan; tak peduli itu dilakukan hanya di saat-saat akhir, saat arus penolakan rakyat tak tertahankan, bukan dilakukan sejak awal perencanaan kebijakan.

Karena mencari zona aman dan nyaman pula, tak sedikit tokoh agama, kiai, ulama atau ustadz yang tetap tak tertarik untuk melibatkan diri dalam dakwah yang penuh risiko atau dianggap riskan. Alasannya klasik: toh dakwah itu bisa bagi-bagi peran; tak harus semuanya terjun ke ranah dakwah politik atau perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah, misalnya. “Ente silakan bergerak di jalur politik Islam. Ana di bagian pendidikan. Dengan begitu, kita bisa maju bersama, menuju tujuan yang sama.” Begitulah kira-kira yang sering dilontarkan. Mereka menganggap dakwah seperti permainan sepak bola: ada penjaga gawang, penyerang, bek kiri-bek kanan, dst. Mereka tidak sadar bahwa saat mereka mengabaikan dakwah yang fokus pada perjuangan penegakan syariah dan Khilafah, mereka sesungguhnya sedang menjadi ‘penonton’, bukan pemain. Tak seperti pemain yang berisiko terpeleset, terjatuh, kena tendangan lawan, dijegal kakinya oleh musuh, harus berlari kesana-kemari mengejar dan menggiring bola sambil terengah-engah, dst; mereka tentu sekadar duduk manis, bersorak, ataupun sekadar berkomentar berisi pujian terhadap kawan atau cemoohan terhadap lawan. Itulah zona aman dan nyaman yang memang sejak awal menjadi pilihan mereka sebagai penonton, bukan pemain di lapangan.

*****

Dakwah, sejak awal kelahirannya—yakni sejak nabi dan rasul pertama diutus hingga nabi dan rasul akhir zaman diturunkan—sejatinya bukanlah zona aman dan nyaman. Tidak ada seorang nabi/rasul pun dalam dakwahnya—tak terkecuali Baginda Nabi Muhammad saw. sang teladan—yang tidak mengalami masa-masa pahit dan sulit: didustakan, ditentang, dihalang-halangi, diboikot, dimusuhi bahkan diancam secara fisik. Alasannya sederhana: apa yang dibawa oleh para nabi dan rasul memang selalu berseberangan dengan keyakinan, pemikiran, tradisi, adat-istiadat dan hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat dimana para nabi dan rasul itu diutus. Tentu, sejak pertama menerima wahyu, risiko demikian sudah mereka bayangkan.

Karena itu, rasa aman dan nyaman dalam dakwah—termasuk saat ini—hanya mungkin karena satu hal: karena dakwah yang dilakukan adalah dakwah yang tidak mengusik keyakinan, pemikiran, tradisi, adat-istiadat dan hukum yang berlaku di masyarakat; karena da’i atau aktivis dakwah tak mau berseberangan apalagi menentang keyakinan, pemikiran, tradisi, adat-istiadat dan hukum di masyarakat yang menyimpang dari Islam. Singkatnya, sang da’i atau aktivis dakwah sejak awal memang mencari ‘zona aman’. Bahkan ada yang sejak awal berupaya selalu ada di ‘zona nyaman’, yakni di medan dakwah yang bisa mendatangkan materi berkelimpahan.

Saat ‘zona aman’ atau ‘zona nyaman’ jadi pilihan, tentu tak lagi penting apakah masyarakat akan berubah ke arah lebih baik ataukah tidak; apakah yang disampaikan dalam dakwah al-haq atau al-bathil; apakah tatacara dakwahnya sesuai dengan tatacara dakwah Baginda Rasul saw. yang tegas, berani dan tentu didasarkan pada hikmah (hujjah) ataukah tidak. Yang penting, rutinitas ‘dakwah’ tetap berlangsung; masyarakat tetap bersikap baik kepada sang da’i/aktivis dakwah; pekerjaan dan jabatan tetap lancar; bisnis tetap aman terkendali; kehidupan keluarga tenteram-nyaman; dst.

Karena dalam dakwahnya yang dicari adalah zona aman dan nyaman, cibiran tetangga wajib dihindarkan, pengucilan masyarakat harus dijauhkan. Demikian pula ancaman terhadap pekerjaan dan jabatan serta bisnis jika itu merupakan efek dari dakwah yang dilakukan.

Sayangnya, ‘zona aman’ atau ‘zona nyaman’ ternyata masih pula menjadi pilihan sebagian orang yang ada dalam gerakan Islam, yang sehari-hari mendapat julukan ‘keren’ hamil ad-da’wah, pejuang syariah dan Khilafah. Asal selalu berada di zona aman dan nyaman, kadang ia tak peduli jika dakwah harus selalu minimalis; tak masalah jika dakwah harus bermanis-manis; tak galau jika ide tentang syariah dan Khilafah tak tersampaikan; tak sungkan kalau keberadaannya sebagai anggota gerakan Islam tak tampak di permukaan. Bahkan statusnya sebagai pejuang syariah dan Khilafah sejauh mungkin berusaha ia sembunyikan; khawatir bisa ‘mengganggu’ zona aman dan nyaman yang selama ini ia upayakan. Dalam kondisi demikian, jangan heran jika masyarakat tidak mengenal dirinya sebagai aktivis sebuah gerakan meski ia tinggal di tengah-tengah mereka selama tahunan. Jangan aneh pula jika yang bersangkutan, meski dikenal sebagai ‘tokoh panutan’, justru hilang dari peredaran medan dakwah yang fokus pada perjuangan penegakan syariah dan Khilafah Islam.

Dalam kondisi demikian, kita sering melupakan perjuangan Baginda Nabi saw. yang akrab dengan penderitaan; dicaci, dilempari batu dan kotoran, diboikot dan dikucilkan, termasuk diancam dibunuh dan dimusnahkan. Dalam kondisi demikian, kita pun sering mengabaikan penderitaan para Sahabat beliau—seperti Bilal bin Rabbah yang pernah dijemur di atas pasir yang panas, di bawah terik matahari, lalu dicambuk berkali-kali; atau Abdullah bin Mas’ud yang dikeroyok kafir Qurays di tengah pasar; atau Habbab bin al-Arts yang tubuhnya diseret di atas bara api hingga kulit dan dagingnya matang terpanggang, dll. Mereka memilih demikian hanya karena memperjuangkan Islam. Tentu karena mereka sangat paham, bahwa zona aman dan nyaman di dunia akibat meninggalkan dakwah pasti akan berbuah ancaman dan siksaan di akhirat nanti. Mereka pun amat paham, bahwa zona aman dan nyaman yang hakiki hanya bisa dirasakan saat kedua kaki sudah berada di surga yang diimpikan, bukan di dunia yang penuh kepalsuan!

Wama tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

Tinggalkan komentar